Key Takeaways:
- Koperasi Merah Putih hadir untuk memperkuat ekonomi desa dan UMKM melalui skema kolektif berbasis digital;
- Menurut pengamatan sejumlah ekonom, kehadirannya berpotensi menimbulkan persaingan di segmen pembiayaan UMKM;
- Di sisi lain, sinergi digitalisasi antara BPR dan koperasi dapat membuka peluang kolaborasi yang saling menguntungkan;
- Keberhasilan program sangat bergantung pada manajemen profesional kedua belah pihak dan implementasi regulasi yang jelas.
Belakangan ini, pemerintah telah meluncurkan program Koperasi Merah Putih sebagai upaya memperkuat ekonomi desa melalui koperasi berbasis lokal. Namun, sejumlah ekonom menyebut bahwa keberadaan program ini bisa “mengganggu” ruang gerak BPR (Bank Perekonomian Rakyat), terutama di ranah pembiayaan mikro di desa dan kelurahan. Apakah kekhawatiran itu beralasan? Mari kita pelajari lebih lanjut tentang skema Koperasi Merah Putih, serta kemungkinan dampaknya terhadap dunia BPR di sini.
Sekilas tentang Latar Belakang Koperasi Merah Putih
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dibentuk sebagai wadah ekonomi warga desa atau kelurahan berdasarkan prinsip gotong royong, kekeluargaan, dan partisipasi bersama. Program ini muncul sebagai jawaban atas tantangan inklusi finansial dan ketimpangan ekonomi antara kota dan desa.
Sebagai solusi untuk banyaknya desa yang belum memiliki akses lembaga keuangan lokal yang memadai, pemerintah menargetkan pembentukan hingga 80.000 koperasi desa/kelurahan Merah Putih di seluruh Indonesia.
Skema dan Tujuan Koperasi Merah Putih
Skema pendanaan dan operasional Koperasi Merah Putih dirancang dalam dua jalur utama: channelling dan executing.
Dalam skema channeling, dana akan disalurkan dari Kemenkop melalui pemerintah daerah ke koperasi untuk investasi jangka panjang, contohnya infrastruktur dan gudang. Sementara itu, dalam skema executing, bank besar seperti jaringan HIMBARA akan memberikan kredit langsung kepada koperasi dalam bentuk Kredit Investasi (KI), Kredit Modal Kerja (KMK), atau produk sejenis KUR khusus.
Dalam jangka panjang, tujuan dari program ini adalah untuk memperkuat ekosistem ekonomi desa, meningkatkan nilai tukar petani, mempercepat inklusi keuangan di desa, menekan inflasi lokal, membuka lapangan kerja baru di desa, serta memperpendek rantai pasok antara petani ke konsumen.
Potensi dan Tantangan Koperasi Merah Putih di Ranah BPR
Penerapan Koperasi Merah Putih bisa membawa peluang sekaligus tantangan bagi bank BPR karena berbagai alasan berikut:
Penguatan ekosistem desa
Jika selama ini peran desa seperti rumah yang hanya punya satu pintu keluar (ke pasar kota), koperasi bisa menjadi pintu internal agar interaksi ekonomi tetap berputar di dalam desa terlebih dahulu. Bila hal ini berhasil berkat Koperasi Merah Putih, struktur ekonomi desa bisa menjadi lebih mandiri dan tangguh.
Lantas, apa manfaatnya bagi BPR? Singkatnya, bank bisa menjadi mitra pendanaan, penyedia layanan keuangan digital, atau infrastruktur keuangan untuk koperasi.
Persaingan pendanaan UMKM
Koperasi Merah Putih dan BPR sama-sama menargetkan usaha mikro, kecil, dan koperasi lokal sebagai nasabah utama. Beberapa ekonom menyoroti bahwa program pinjaman modal besar dari bank kepada koperasi rentan berubah menjadi skema top-down yang melewati lembaga keuangan lokal, sehingga melemahkan peran BPR di level akar rumput. Apalagi, ketika koperasi menyediakan alternatif pendanaan murah dan dekat dari lokasi usaha, nasabah bisa saja beralih dari BPR.
Meski demikian, BPR yang sudah digital dan efisien bisa tetap bertahan dengan layanan nilai tambah, seperti pelayanan cepat, manajemen risiko yang baik, atau segmentasi khusus yang tidak ingin dimasuki koperasi.
Kerja sama digitalisasi
Sektor koperasi masih relatif tertinggal dalam adopsi sistem digital dibanding dengan perbankan. Bila koperasi di pedesaan dapat menggunakan platform digital terintegrasi seperti domain .kop.id dan sistem manajemen koperasi digital dari program Koperasi Merah Putih, mereka bisa meningkatkan efisiensi operasional.
Di saat yang bersamaan, BPR bisa memanfaatkan keunggulan digital mereka dengan menawarkan sistem plug-in ke koperasi. Contohnya, melalui sistem pencairan, integrasi data kredit, monitoring pinjaman, dan back-office. Dengan kata lain, BPR bisa memiliki peran tambahan sebagai backend provider, bukan hanya pemberi pinjaman utama di desa.
Namun, digitalisasi ini menuntut koperasi untuk menguasai aspek tata kelola, transparansi, sistem kredit, dan mitigasi risiko digital agar tidak menjadi lembaga dengan salah kelola yang merugikan anggota. Jika terjadi wanprestasi massal atau penyalahgunaan dana, reputasi koperasi dan lembaga keuangan pendukung bisa tercoreng.
Bagaimana Nasib Koperasi Merah Putih Ke Depannya?
Ada beberapa skenario penerapan Koperasi Merah Putih. Dalam skenario optimis, koperasi tumbuh sehat dan profesional untuk melengkapi BPR. Koperasi berfokus pada layanan hulu-hilir, sedangkan BPR menitikberatkan pembiayaan dan teknologi. Realistisnya, sebagian koperasi stagnan atau gagal, sementara yang lain berhasil. Namun, BPR tetap dominan di wilayah tertentu, sehingga terjadi persaingan terbatas.
Pada akhirnya, apakah Koperasi Merah Putih akan benar-benar mengganggu BPR atau justru menjadi mitra strategis sangat tergantung pada bagaimana kedua pihak merespons. Salah satu cara untuk menekan risiko yang muncul adalah melalui edukasi kepada masyarakat, keterbukaan informasi, serta kesediaan untuk berkolaborasi adalah kunci. Jika koperasi dan BPR bisa berjalan beriringan, masyarakat kecillah yang akan merasakan manfaat paling besar.
